Tuesday, August 23, 2011

Heaven just only fairy tale (2)

Saya mahasiswa baru di ITB, hobi saya yang benar-benar saya gilai adalah membaca, membaca apa saja, apapun. Sampai lah di perpusatakaan pusat ITB, saya membayangkan bukunya banyak pasti, hmm.. yummy. Sampailah disana dan ternyata, bukunya Textbook English semua, bener-bener beyond imagination, gak kebayang, dibandingkan dengan perpustakaan smp atau sma yg secuilpun gak ada apa2nya. Ditengah kebingungan karena gak tau musti meminjam buku apa, jadilah akhirnya saya pinjam buku Text book Fisika judulnya “Feynman Lectures on Physics” dari sana saya mulai tertarik dengan prof. Feynman, cara berfikirnya dia, struktur logika dan bagaimana mempresentasikan dengan simple, sederhana namun dapat dipahami (dia main bongo, dan saya suka main gendang). Professor yang bener2 menarik, dia adalah salah satu orang yang membentuk cara berfikir saya sampai sekarang ini.
Hawking menjelaskan mekanika kuantum dengan sederhana dan mudah dimengerti, Penyampaiannya dibuku ini menggunakan bahasa non-teknis dengan terilhami dari formulasi yang dibuat oleh Richard Feynman theory pendekatan   "Sum Over Hystory".  Dengan metode mekanika kuantum dari Feynman,  peluang atau probabilitas suatu kejadian -elektron bergerak dari tempat Anda ke pintu kamar Anda, misalnya- dihitung dengan menjumlahkan probabilitas dari semua cara yang bisa terjadi. Pergerakannya bisa bergerak dalam garis lurus, mengelilingi ruangan beberapa kali atau bahkan (dengan probabilitas yang sangat kecil) mengunjungi planet Mars terlebih dahulu kemudian kembali lagi pada jalan ke pintu.
Saya punya sahabat di kampus, kita seringkali bercerita tentang bagaimana universe kita ini bekerja, perumpamaan kita ibarat lapangan bola, Tuhan membuat aturan mainnya, dan kita mengeksekusi pertandingannya, lantas apakah Tuhan tau hasil pertandingan yang mungkin akan  terjadi, ya pastilah, karena Dia yang membuat aturannya sendiri karena Dia diawal dan dia pula Diakhir, Dia pemilik waktu, pemilik semua makluk termasuk akhirat, surga dan neraka adalah makhlukNya juga. Tidak ada yang kekal selain Dia.
Dengan latar belakang itu, Hawking dan Mlodinow sampai ke inti persoalan dari buku ini: bagaimana cara teori tentang mekanika kuantum dan relativitas datang bersama-sama untuk membentuk pemahaman kita tentang bagaimana alam semesta kita (dan mungkin orang lain) terbentuk. Menurut mereka, saat ini mungkin teori ini menjadi deskripsi terbaik dari fisika bagaimana menjelaskan alam semesta. Mereka menjelaskan apa yg mereka sebut dengan "M-teori" yang memprediksi bahwa tidak ada alam semesta yang tunggal (satu kita hidup didalamnya) tetapi sejumlah besar alam semesta. Dengan kata lain, tidak hanya bumi, bumi hanyalah salah satu dari beberapa planet dalam sistem tata surya kita dan salah satu Bima Sakti  dari miliaran galaksi, tetapi alam semesta kita sendiri juga hanyalah salah satu diantara miliaran tak terhitung alam semesta. Menarik dan mengejutkan.
Kesimpulan yang mengikuti teori diatas menjadi benar-benar inovatif. Dari semua alam semesta yang mungkin ada, beberapa harus memiliki aturan yang memungkinkan munculnya kehidupan.  Fakta bahwa kita di sini sudah memberitahu bahwa kita berada  dalam sudut multiverse. Dengan cara ini, semua pertanyaan dijawab dengan menunjuk ke sejumlah besar alam semesta yang mungkin ada dan menarik kesimpulan bahwa beberapa dari mereka memiliki sifat yang memungkinkan keberadaan kehidupan, hanya dengan sebuah kebetulan (probability).
Akhirnya buku ini mengembalikan kita mengenai jawaban dari pertanyaan terdalam dari kosmologi modern tanpa persamaan tunggal. Dari buku ini kita akan bisa mendapatkan sudut pandang baru melalui gagasan tanpa banyak detail teknis tapi cukup bisa untuk dimengerti bagaimana cara berfikirnya, Mungkin saja pada akhirnya gagasan seluruh multiverse akan benar-benar berubah menjadi benar!
Lalu dimana Surga dan Neraka? Apakah hidup kita ini hanyalah kebetulan-kebetulan belaka?
Silahkan dibaca bukunya sebelum mengomentari.

Friday, August 19, 2011

Success

At age 4 success is not peeing in your pants. 
At age 12 success is having friends. 
At age 16 success is having a drivers license. 
At age 20 success is having sex. 
At age 35 success is having money. 
At age 50 success is having money. 
At age 60 success is having sex. 
At age 70 success is having a drivers license. 
At age 75 success is having friends. 
At age 80 success is not peeing in your pants. 




Quote from: Unknown

Tuesday, August 16, 2011

Janji Kemerdekaan




 
Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di tiang bambu depan rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah dan atapnya genting berlumut. Di tepi rel kereta tak jauh dari stasiun Jatibarang. Rumah batu itu polos tanpa polesan material mewah.

Pemiliknya jelas masih miskin. Tapi dia pasang tinggi bendera kebanggaannya. Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini, dan kami percaya di bawah bendera ini suatu saat kami juga akan sejahtera !

Yang miskin nyatakan cinta dan bangga pada negerinya. Keseharian hidupnya mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di bank, tapi tabungan cintanya pada Republik ini luar biasa banyak. Negeri ini dicintai dan dibanggakan. Rakyatnya cinta tanpa syarat.

Tiap memasuki bulan Agustus ada rasa bangga. Kemerdekaan diongkosi dengan perjuangan. Di tiap hela napas anak bangsa hari ini, ada tanda pahala para pejuang, para perintis kemerdekaan.

Jangan pernah lupa bahwa saat merdeka mayoritas penduduknya serba sulit. Hanya 5% rakyat yang melek huruf. Siapapun hari ini, jika menengok ke masa lalunya maka masih jelas terlihat jejak ketertinggalan adalah bagian dari sejarah keluarganya. Kemiskinan dan keterbelakangan adalah baju bersama di masa lalu.

Republik ini didirikan bukan sekadar untuk menggulung kolonialisme tapi untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Republik hadir untuk melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta memungkinkan berperan dalam tataran dunia.
Isi Pembukaan UUD 1945 selama ini diartikan sebagai cita-cita. Cita-cita kemerdekaan adalah kata kunci paling tersohor. Istilah cita-cita kemerdekaan adalah istilah yang sudah jamak dipakai dalam mengilustrasikan tujuan republik ini. Tapi ada ganjalan fundamental disini.

Kemerdekaan perlu beri ekspresi yang lebih fundamental, bukan sekadar bercita-cita. Lewat kemerdekaan, sesungguhnya Republik ini berjanji. Narasi di Pembukaan UUD 1945 bukanlah ekspresi cita-cita semata, tapi itu adalah janji. Pada setiap anak bangsa dijanjikan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan bisa berperan di dunia global. Republik ini dibangun dengan ikatan janji!

Cita-cita itu adalah harapan, dan ia bisa tidak mengikat. Secara bahasa cita-cita itu bermakna keinginan (kehendak) yg selalu ada di dalam pikiran atau dapat juga diartikan sebagai sebuah tujuan yang
hendak dilaksanakan. Bila tercapai cita-citanya maka akan disyukuri. Tapi, jika tidak tercapai maka cita-cita bisa direvisi. Ada komponen ketidakpastian yang abstrak pada kata cita-cita. Indonesia hadir bukan sekadar untuk sesuatu yang didalamnya mengandung komponen yang belum tentu bisa dicapai. Sudah saatnya tidak lagi menyebutnya sebagai cita-cita tapi mulai menyebutnya sebagai Janji Kemerdekaan.

Berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi dan untuk mencapai. Janji adalah hutang yang harus dilunasi. Janji memberikan komponen kepastian. Janji itu kongkret. Janji tidak abstrak dan uncertain. Republik ini bukan sekadar bercita-cita tapi berjanji mensejahterakan dan mencerdaskan tiap anak bangsa.

Hari ini janji itu telah dilunasi bagi sebagian rakyat. Sebagian rakyat sudah tersejahterakan, tercerdaskan, terlindungi dan bisa berperan di dunia global. Mereka sudah mandiri. Mereka tak lagi tergantung pada negara mulai dari soal kehidupan ekonomi keseharian, pendidikan, sampai dengan kesehatan. Ya pada mereka, janji kemerdekaan itu sudah dibayar lunas.
Tapi masih jauh lebih banyak yang kepadanya janji itu belum dilunasi. Bangsa ini perlu melihat usaha mencerdaskan dan mensejahterakan bukan sekadar meraih cita-cita tapi sebagai pelunasan janji kemerdekaan. Pelunasan janji itu bukan cuma tanggung-jawab konstitusional negara dan pemerintah tapi juga tanggung jawab moral setiap anak bangsa yang kepadanya janji itu telah dilunasi: telah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan.
Jangan lupa dahulu seluruh rakyat sama-sama miskin, buta huruf, terjajah dan terbelakang. Mayoritas mereka yang hari ini sudah tersejahterakan dan tercerdaskan mendapatkannya lewat keterdidikan. Pendidikan di Republik ini adalah eskalator sosial ekonomi; keterdidikan mengangkat derajat secara kolosal jutaan rakyat untuk mendapatkan yang dijanjikan: tercerdaskan dan tersejahterakan.
Saat Republik ini didirikan semua turun tangan menegakkan Merah-Putih, menggulung kolonialisme. Ada yang sumbang tenaga, harta dan banyak sumbangannya nyawa. Mereka menegakkan bendera tanpa minta syarat agar anak-cucunya nanti lebih sejahtera dari yang lain. Semua paham adanya janji bersama untuk menggelar kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar cita-cita. Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi dan dibawah kibarannya, janji kemerdekaan harus dilunasi untuk semua.
Bayangkan di kampung kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel listriknya berseliweran dipakai gantungan dan aliran listrik lampu kecil. Dibawah sinar lampu seadanya beberapa orang bersila diatas tikar membincangkan rencana perayaaan kemerdekaan di kampungnya. Mereka belum sejahtera dan mereka akan rayakan kemerdekaan !

Tidak pantas rasanya terus menerus merayakan kemerdekaan sambil berbisik memohon maaf bagi mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan dan belum tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai pemenuhan janji. Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak semua ikut melunasinya dan agar semua lebih yakin bahwa janji itu untuk dilunasi.
Perayaan kemerdekaan bukan sekadar pengingat gelora perjuangan. Merayaan kemerdekaan adalah meneguhkan janji.  Biarkan pemilik rumah batu itu menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil senyum membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan tercerdaskan. Semua bangga jika perayaan Kemerdekaan adalah perayaan lunasnya janji kemerdekaan bagi tiap anak bangsa.


Anies Baswedan
Rektor Universitas Paramadina
@aniesbaswedan

Bulan Penuh


Tubuhku berkeringat, bulirnya jatuh ke pijakan

Beberapa helaian rambut lepas dari tampuknya, bisu

Ujung mataku sayu, bayanganmu menjadi berjuta

Putaran nafas tertahan, ada yang ingin ku buang

Malam ini bulan penuh, tak bisa kunikmati

Mungkin karena kau tak disini

Friday, August 12, 2011

Cerita pertemuan terakhir antara Bung Karno & Bung Hatta, diakhir hidup Bung Karno

Hatta ..., kau ada di sini....?
Hatta tidak dapat menyebunyikan kesedihan, tapi ia mencoba yang terbaik untuk teman lamanya, tidak merasakan kesedihan apa yang ia lihat, kemudian dengan sedikit senyum Bung Hatta memaksakan diri untuk menjawab Bung Karno.
Ya, bagaimana kabar No?
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba dengan bahasa Belanda, sesuatu yang selalu mereka lakukan ketika masih menjadi Dwi Tunggal,
Hoe gaat het bertemu Jou? Bagaimana Anda?
Soekarno akhirnya terisak-isak seperti seorang anak, setiap pembelaan Hatta juga menangis terisak-isak, ia mengambil bagian juga, tangisnya runtuh. Dalam situasi seperti dua teman menangis, Hatta menyadari siksaan yang diderita oleh Bung Karno, ia mungkin tidak. “Disiksa secara fisik tetapi siksaan mental yang dialami oleh teman lamanya begitu memilukan Bung Hatta".
Tidak ada...
Hanya itu yang dapat dikeluarkan dari bibir Bung Hatta, bibirnya tidak bisa lagi mengatakan, kesedihan serta rasa kecewa membuat bahunya untuk bergoncang.
Bung Hatta terus memijat tangan Bung Karno dengan baik, kemudian hilang dalam keheningan, seolah-olah mereka ingat kembali ke era di mana mereka menghabiskan hidup mereka untuk membebaskan bangsa ini menuju kemerdekaan.
Soekarno seolah-olah dia berdiri diam tanpa kata, hanya memegang rasa sakit yang mendalam, jiwa mengembara, ia hanya menunggu saat ketika dia mencapai surga, ia hanya diam-diam mengundurkan diri untuk menunggu panggilan Sang Pemilik.
Sumber: Wikileaks dengan terjemahan dari penulis (gw-red).

Melihat Indonesia dari Seoul (1)

Beberapa hari yg lalu gw belanja ke E-Mart Jukjeon, kalau di Jakarta kyk Carrefour atau Giant lah, harganya mungkin 10% lebih murah daripada di Departement Strore atau dibandingkan dengan toko2 kelontong di Seoul, untuk barang-barang tertentu bahkan murah bgt. Biasanya sekali 2 minggu gw belanja kyk kebutuhan harian, makanan atau ya belanja aja. Di Jakarta pun gw biasanya tiap 2 minggu emang belanja ke Carrefour yang di Mall Depok atau tiap weekend belanja di Pasar Traditional di Depok yg bersih banget itu, sekalian beli jajanan lupis atau lontong Padang. Karena emang gw tiap minggu belanja, sensitifitas terhadap harga itu terasah dengan sendirinya, merasakan yang namanya inflasi secara nyata. Yang terasa banget adalah waktu harga cabai keriting Rp 50rb per kg, pas gunung Merapi lagi dahsyat2nya itu. Tiap harga naik selalu bertanya-tanya dan complain walaupun naiknya cuma 500 perak. Gw pikir lama2 gw kyk emak2 juga. Hahaha..
Pertama-tama nyampe di Seoul pastilah membanding2kan antara harga di Indonesia dg di sini. Semua di rupiahin dulu, apa2 di compare ke rupiah. Jadinya malah lucu dan rasanya mahal bgt semuanya. Ya iya lah, secara pendapatan per kapita disini lebih tinggi pasti harga barang juga lebih mahal. Setiap belanja awalnya semua kepikiran “rupiahnya berapa ya?” misalnya beli air minum kemasan alias Aqua yang 1.5 liter, kalau di Indonesia harganya kira2 Rp 2.500 di Seoul yg harganya 800 Won yang di rupiahkan kira-kira Rp 6.400 mereknya Jeju, kalau gak mikir haus pasti gak jadi beli deh.  Kalau roti disini yang kualitasnya setara dengan bread talk itu harganya 800-1200 won ya kira2 Rp 6.000 hampir sama lah ya? Yang jelas Sari Roti lebih murah. Susu segar yang 300ml itu kira2 600 won = Rp 4800 sedangkan kalau di Jakarta susu fresh itu 1 liter kira-kira Rp 8000-an.
Ternyata di Jakarta secara umum biaya hidup untuk harian terasa jauh lebih murah, walaupun dengan kualitas yg gak sebagus di Seoul. Memang income per kapita di Indonesia 1/3nya Republik Korea, salary gw di sini sih kecil untuk ukuran Engineer disini tapi masih diatas average salarynya Seoul, kalau di konversi ke Rupiah, saving gw setelah belanja2 dan hedon, lebih dari gaji terakhir gw waktu di Tripatra dulu.
Nih dibawah ada photo GS Tower, kantor gw di Gangnam-gu Seoul